MEWUJUDKAN INFRASTRUKTUR YANG BERKELANJUTAN DAN TANGGUH,
SEBUAH AMANAH DARI NEGERI RAWAN BENCANA
Oleh: Anantri Sulistyowati
Bencana alam seakan
sudah menjadi torehan cerita tersendiri dalam perjalanan panjang bangsa
Indonesia hingga saat ini. Jejak-jejak dahsyatnya bencana dari masa lalu, dapat
ditemukan baik dalam bentuk catatan sejarah maupun berbekas pada kenampakan
alam di Indonesia. Sebagai sebuah negara kepulauan yang berada di area Cincin Api
Pasifik (ring of fire), bencana gunung meletus, gempa bumi vulkanik
maupun tektonik akan berpotensi terjadi dalam kurun waktu tertentu. Selain itu,
potensi kejadian bencana alam lain seperti banjir, tsunami, longsor, puting
beliung, kebakaran, kekeringan atau banjir bandang akan menimbulkan kerugian
mulai dari rusaknya pemukiman, sekolah, fasilitas kesehatan, jalan, jembatan,
sungai, dan sudah tentu mengancam nyawa masyarakat. Tidak sedikit biaya yang akan
diperlukan untuk melaksanakan pemulihan, terlebih lagi bila dikaitkan dengan
pemulihan tatanan sosial, ekonomi, maupun psikologis. Mengutip dari International
Disaster Database (2018) dalam Narasi RPJMN 2020-2024 (2020), kerugian
finansial Indonesia akibat bencana alam dalam tenggang waktu 2002-2015 sudah
mencapai 1,26 miliar USD per tahun.
Ketahanan
Kebencanaan Infrastruktur dalam RPJMN 2020-2024
Pada Lampiran
Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2020-2024, peran Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat (PUPR) dalam Agenda Pembangunan terdapat pada Agenda 5: memperkuat infrastrukur
untuk mendukung pengembangan ekonomi dan pelayanan dasar; serta pada Agenda
6: membangun lingkungan hidup, meningkatkan ketahanan bencana dan perubahan
iklim. Pada RPJMN juga disebutkan bahwa, pembangunan (infrastruktur)
berkelanjutan merupakan pembangunan yang dilakukan pada masa sekarang yang
tidak akan menyebabkan kerugian terhadap generasi di masa mendatang,
dengan tetap mengutamakan kesejahteraan sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Ketahanan kebencanaan infrastruktur dalam
RPJMN ini juga selaras dengan tujuan ke sembilan yang termaktub dalam Sustainable
Development Goals (SDGs), yakni pada tujuan pembangunan infrastruktur yang tangguh
(resilience).
Peran kementerian
PUPR yang searah dengan kebijakan RPJMN antara lain terdapat dalam 3 (tiga)
hal. Pertama dalam hal pengembangan infrastruktur tangguh bencana dan penguatan
infrastruktur vital, antara lain berupa prioritasi pelaksanaan peningkatan
kualitas infrastruktur pada zona rawan (contoh: Lombok, Palu),
penilaian dan peningkatan keamanan infrastruktur vital (jembatan dan bangunan) melalui
retrofitting, penetapan inovasi dan standar bangunan tangguh bencana (penerapan
teknologi RISHA dalam kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi), serta
pengembangan infrastruktur hijau/berkelanjutan (green water, green
energy, green building, green waste dan green community).
Hal kedua adalah dalam kegiatan pengelolaan terpadu kawasan rawan bencana,
meliputi kombinasi pendekatan struktural dan non struktural (termasuk
infrastruktur hijau) dalam program terintegrasi Pengelolaan Resiko Bencana
(PRB) yang dilengkapi dengan sistem pemantau dan peringatan dini bencana (banjir, longsor, tsunami, dll).
Hal terakhir, dalam kegiatan restorasi dan konservasi daerah aliran sungai,
peran PUPR meliputi program normalisasi dan peningkatan kapasitas aliran sungai.
Infrastruktur
Tangguh dalam Sendai Framework for Disaster Risk Reduction
2015-2030
Terdapat 4 (empat)
prioritas aksi yang disebutkan dalam Kerangka Kerja Sendai untuk Pengurangan
Risiko Bencana 2015-2030, antara lain: (i) memahami risiko bencana; (ii) penguatan
tata kelola risiko; (iii) investasi Pengurangan Risiko Bencana untuk resiliensi;
dan (iv) meningkatkan manajemen risiko. Aksi tersebut bertujuan untuk
meningkatkan ketangguhan melalui kesiapsiagaan, tanggap bencana dan pemulihan, serta memiliki target
pengurangan kerusakan pada infrastruktur kunci (vital).
Pada Kerangka Kerja
Sendai yang diselenggarakan pada 2015 tersebut, ditekankan bahwa upaya PRB
tidak hanya dilakukan untuk mengembalikan fungsi sosial seperti kondisi awal
sebelum terjadi bencana tetapi juga mengatasi kerentanan sehingga masyarakat
bisa lebih tangguh
(resilien) menghadapi bencana serupa yang mungkin terjadi lagi di masa depan. Bisa
dikatakan bahwa terjadinya
sebuah bencana
harus menjadi sebuah titik kritis untuk membangun dengan lebih baik lagi (“Build
Back Better”).
Kerjasama
Kementerian dan Lembaga dalam Pengurangan Risiko Bencana
Mengulas kembali
kutipan penjelasan dari Narasi RPJMN 2020-2024, bahwa lebih dari 75% dari riwayat
kejadian bencana di Indonesia merupakan bencana hidrometeorologis. Bencana ini
antara lain disebabkan oleh kondisi iklim dan dinamika yang terjadi di
dalamnya. Oleh karena itu Kementerian PUPR berkoordinasi dengan Badan
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dalam rangka mewujudkan infrastruktur
tangguh yang mampu merespon tantangan kebencanaan. Informasi klimatologi akan
bermanfaat dalam mendukung sistem peringatan dini yang sesuai dengan arah
kebijakan kedua Ketahanan Kebencanaan Infrastruktur dari RPJMN serta prioritas
nomor empat dari Sendai Framework yang telah dijelaskan sebelumnya.
Informasi tersebut juga akan membantu penyempurnaan dalam perencanaan
infrastruktur, sehingga desain infrastruktur yang dihasilkan dapat beradaptasi
dengan kemungkinan bencana yang akan terjadi.
Dukungan
PUPR terhadap Aspek Kebencanaan Non Alam
Pandemi Covid-19
yang terjadi sejak awal tahun 2020 membuka sudut pandang baru tentang peran
pembangunan infrastruktur terhadap bencana non alam. Secara langsung dukungan tersebut dapat
diwujudkan dalam pembangunan fasilitas kesehatan bagi masyarakat, seperti yang telah
dilaksanakan di Rumah Sakit Khusus
Covid-19 di Pulau Galang Batam ataupun peningkatan prasarana pada
rumah sakit lain di berbagai daerah di Indonesia.
Pada webinar yang
diadakan oleh Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah (BPIW) PUPR pertengahan
tahun 2020 silam, disampaikan bahwa aspek kebencanaan non alam Covid-19 turut
dilibatkan sebagai indikator dalam penyusunan perencanaan dan program di bidang
PUPR. Sebagai contoh, penyesuaian standar pada infrastruktur perumahan seiring
dengan kebijakan Work from Home (WFH) dan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ)
yang menyebabkan kegiatan masyarakat akan lebih banyak dilakukan di rumah. Selain
itu, skema relaksasi pembangunan juga mulai diterapkan, sehingga kegiatan
pembangunan tertentu yang semula dilaksanakan satu tahun anggaran (single year
projec) dapat ditangguhkan menjadi tahun jamak (multi years project).
Hal lain yang
dilakukan PUPR terhadap upaya Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) melalui
pembangunan infrastruktur tangguh bencana adalah adanya program padat karya
tunai. Program ini secara tidak langsung akan melibatkan kelompok masyarakat
yang rentan melalui kegiatan pembangunan berbasis masyarakat baik di bidang
Sumber Daya Air (P3-TGAI), bidang Bina Marga (Pemeliharaan Jalan dan Jembatan),
maupun bidang Cipta Karya (SANIMAS, PAMSIMAS, KOTAKU, dll).
Sebagai penutup, langkah
pencegahan harus diutamakan dibandingkan dengan aspek rehabilitasi dan
rekonstruksi pasca bencana. Pengurangan risiko bencana akan berhasil dengan
kepatuhan dalam mengurangi kerentanan (vulnerability) dan meningkatkan
ketahanan (resilience). Bila sulit untuk mengatasi, maka buatlah infrastruktur yang bisa
beradaptasi.
REFERENSI
- Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024;
- The Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015-2030;
- Bahan Paparan Kepala BPIW pada Webinar Perencanaan Infrastruktur Berkelanjutan dalam Menghadapi Adaptasi Kebiasaan Baru (29 Juli, 2020)
Burem, karena cuma mencoplok dari Yutub, dan yang penting ada akunya. |
Comments
Post a Comment