Ini candid kok, beneran deh. |
...
Sebelumnya, kegiatan naik gunung adalah satu yang saya hindari selama saya kuliah S1. Karena saya paham dan sadar betul seberapa tempenya nyali dan kemampuan fisik yang saya miliki. Asal tahu saja, saya bukan tipe orang yang ingin merepotkan orang lain bila nantinya terjadi hal-hal yang melelahkan. Tapi ntah kenapa ajakan dari Dini saat itu akhirnya saya terima. Padahal saat itu pun saya tengah pusing dengan urusan tesis yang semakin mepet.
Cerita pendakian panjang ini pun kami mulai...
Cerita pendakian panjang ini pun kami mulai...
30 April 2017
Tim naik gunung kali ini benar-benar asing bagi saya, kecuali Dini. Saya akan pergi bersama dengan teman-teman Dini, para mahasiswa FKH UGM 2011. Tanpa persiapan yang berarti, hanya berbekal tas, sepatu dan jaket saya berangkat. Keperluan yang lain seperti tenda, matras, sleeping bag (SB), dll sudah diurus oleh Dini dkk. Dini meyakinkan saya untuk santai, karena teman-temannya yang ikut kali ini selow katanya.
Kami yang semula akan berangkat dari Jogja pada siang hari, akhirnya memolorkan jadwal. Siang itu hujan turun sangat deras, bahkan hingga sore. Tapi apalah arti hujan, tidak menghalangi niatan. Gela gela gela. Titik kumpul pertama adalah di rumah teman Dini, namanya Mimin, di sana juga sudah ada Apip, teman yang satu lagi. Kami menunggu kedatangan Lulu, yang kebetulan baru beberapa hari sebelumnya follow saya di IG. Lulu memang juara, datang dengan membawa keperluan minum dan makanan kami untuk naik gunung. Perlu dinobatkan sebagai ratu logistik nasional sepertinya.
Saat itu, kami agak rempong dengan barang bawaan kami. Sebenarnya tidak berat dan tidak banyak, berhubung katanya yang akan kami naiki 'hanya Gunung Andong' yang perjalanannya paling hanya 'dua jam saja' dengan 'santai'. Namun tas yg kami bawa tidak cukup besar dan bukan tas carrier/keril, sehingga tenda, matras, dan SB yang kami bawa tidak semuanya bisa menjadi satu dengan tas, harus ditenteng. Tips dari newbie: Jangan membawa banyak tentengan saat naik gunung, kalau bisa dalam satu tas saja agar tangan tidak kerepotan. Tetap pastikan untuk membawa logistik yang diperlukan namun tidak berat dan cukup untuk perjalanan. Untuk pendakian yang lebih jauh dan lama, aturannya lain lagi ya. Silakan ditanyakan pada para pendaki yang kompeten saja, jangan saya. Saya mah apa, cuma sisaan martabak begini. Mau diambil malu, nggak diambil sayang, eh malah akhirnya kebuang (ini perumpamaan dari mas acen foundernya jalan pendaki).
Selepas sholat magrib, kami berangkat dari Jogja ke Magelang dengan tiga motor. Saya berboncengan dengan Dini, Lulu dibonceng Mimin, dan Apip sendirian dengan motornya. Ini adalah pertama kalinya perjalanan luar kota saya di malam hari dengan menggunakan motor dan saya di depan. Sebelumnya bila bepergian dengan teman Sipil ke luar kota, pasti saya sebagai cewek kebagian bonceng di belakang. Saya baru sadar ternyata itulah salah satu kebahagian menjadi wanita yang kuliah bersama lelaki-lelaki Teknik Sipil. I miss you, teman-teman Sipil B andalanque.
Ketangguhan kembali diuji saat tiba-tiba di Magelang hujan turun sangat deras. Beneran lebay hujannya. Hempas datang lagi, hempas datang lagi. Gitu terus hujannya. Naik motor saat hujan di malam hari memang tidak mudah. Sekitar jam setengah 8, kami berhenti di sekitar pasar di daerah sebelum menuju Grabag untuk makan malam. Btw, informasi lokasi yang saya berikan tidak jelas ya. Hahaha. Maaf kemampuan navigasi saya memang payah.
Perjalanan setelah itu cukup seram bagi saya, anak rumahan yang sudah lama tidak pulang malam. Jalan semakin gelap tanpa lampu penerangan. Makin banyak pohon pohon besar di kanan dan kiri jalan. Saya merasakan jalanan mulai menanjak dan udara semakin dingin, ditambah lagi hujan gerimis. Setelah memasuki jalan berliku dan naik turun, jarak dengan motor Mimin yang di depan semakin jauh. Beruntung di belakang ada Apip. Lampu motornya juara, bisa disorot jauh sampai ke bulan. Membantu menerangi remang-remang lampu vario saya yang jalannya pun pelan kayak ibu-ibu ngantar anak sekolah.
Dini yang saya bonceng pun kelihatan hening di belakang. Saya juga malas buat membuka mulut ngajak ngobrol. Dingin, takut masuk angin. Saat melewati daerah persawahan yang cukup terbuka, kabut kemudian turun, cukup tebal. Saya hampir merasa seperti berjalan di mimpi. Sebelah kanan, kiri, dan depan hanya putih. Jalan hanya lurus hingga beberapa lama, dan yang bisa saya lihat hanya garis marka tengah jalan. Kami pun tidak lagi berpapasan dengan kendaraan dari arah depan. Saya tidak sanggup kalau harus melewati suasana seperti itu lagi sendirian.
Saat mulai memasuki jalan menuju basecamp pendakian Andong, iring-iringan motor kami dikejar oleh seorang Mas-mas yang membawa light stick. Light stick kang parkir kok, bukan fans JKT48. Krik. Si Mas adalah 'akamsi' (anak kampung situ) yang memberi tahu kalau kami tidak bisa naik lewat situ dan dia akan menunjukkan jalan kepada kami. Ternyata si Mas membawa kami ke basecamp di salah satu jalur pendakian yang bernama Gogik. Setelah sampai situ, saya paham ternyata si Mas adalah anggota karang taruna yang bertugas untuk membawa para calon pendaki untuk singgah di basecamp yang ada di kampung mereka. Menurut saya ini cara yang bagus untuk para pemuda di situ, selain membantu meramaikan kondisi kampung, para pendaki pun juga terbantu.
Di sana, disediakan rumah-rumah gratis yang bisa dipakai para pendaki untuk beristirahat sejenak sebelum atau setelah naik gunung. Disediakan pula colokan gratis dan teh hangat gratis bagi kami. Sebagai gantinya, mereka juga menyediakan jasa parkir, penyewaan senter, warung makan, dan juga etalase souvenir.
Ada obrolan saya dan Dini dengan mas kecil di dekat parkir motor yang membuat saya menyesal bertanya. Kami hanya bertanya tentang kenapa kami disuruh lewat sini. Lalu si mas malah bercerita tentang jalan pendakian yang longsor dan jelek yang sudah menimbulkan banyak korban kecelakaan. Kecelakaan berupa terpeleset maupun jatuh ke jurang, yang katanya kebanyakan perempuan. Dan ternyata yang masnya maksud adalah korban meninggal. Entah bener apa nggak cerita si mas ini, tapi kok bikin kesel ya. Kami cewek mas, dan baru pertama kali mau naik gunung. Kenapa kamu cerita itu, kenapa mas? Jelaskan mas?
...
Seusai sholat dan melakukan registrasi, kami memulai perjalanan pada pukul setengah 10 malam. Perjalanan berawal dari jalanan yang melewati sebuah gedung pondok pesantren. Jalan di sekitar pesantren masih berupa cor beton. Setelah itu kami memasuki kebun bambu dengan jalanan yang becek-becek asik dan mulai menanjak.
Saya mulai ngos-ngosan. Saya baru tahu kalau kegiatan mendaki gunung itu, bukan hanya sekedar berjalan menanjak. Namun juga memanjat jalan. Antrede dan optrede di jalanan setapaknya sungguh kejam bagi kaki dan badan saya yang tidak semampai ini. Naik jalan setapak saja seperti naik pagar sekolahan, tinggi. Ditambah lagi dengan kondisi setelah hujan yang basah dan licin. Tips: memakai headlamp akan lebih praktis daripada senter tangan.
Belum 10 menit berjalan, saya sudah tumbang. Sebagai seorang yang tidak pernah berolahraga hal tersebut wajar terjadi. Tubuh saya belum bisa beradaptasi. Saya kehabisan nafas, berkeringat dingin, dan sepertinya pucat. Tangan dan kaki saya dingin dan kesemutan, sepertinya aliran darah saya macet. Hahaha. Sampai mau ngomong aja nggak kuat. Di antara mereka, tentu saya adalah yang tercupu dalam masalah fisik. Apip dan Mimin secara fisik lebih kuat karena mereka lelaki. Lulu memang sudah beberapa kali naik gunung sepertinya. Dan Dini rajin jogging. Tips: siapkan fisik yang prima sebelum mendaki gunung, minimal rajin jogging.
Suasana yang gelap dan di tengah hutan membuat saya semakin kelelahan. Berulang kali saya berhenti, duduk dahulu untuk istirahat ambil napas dan minum. Karena memang naik gunung tidak boleh dipaksa, saya diminta meminum madu untuk memberi tenaga. Mereka selalu menyemangati dan meyakinkan saya kalau saya bisa naik dan berjalan lagi. Hanya perlu terbiasa mengatur napas. Mereka memberi tahu kalau Pos 1 hanya sebentar lagi. Dan kalau kami semakin naik, pemandangan lampu-lampu di bawah semakin bagus. Selain itu, pemandangan bintang di langit juga semakin bagus.
Tapi namanya orang kelelahan, mana terpengaruh sama bujukan cemen begituan. Bentukan saya sudah seperti kecebong menggelepar. Asal duduk di tebing tanah yang basah, nggak peduli lagi sama celana yang kena lumpur. Ku hanya ingin hidup. Tips: bawa madu, coklat atau cemilan yang cukup, letakkan minum ditempat yang mudah dijangkau, pakai sendal gunung atau sepatu yang tak licin.
Di dalam hati sempat menyalahkan diri sendiri kenapa bisa memutuskan naik gunung padahal sudah tau kemampuan payah. Pengen turun tapi nggak berani kalau sendirian. Kenapa saya di sini? Kenapa bisa termakan ajakan Dini? Kenapa nggak di rumah aja ngerjain tesis? Tolong, pulangkan saya tolong! Tentu itu cuma saya teriakkan dalam hati. Tapi memang di sisi lain, saya tetap ingin berjalan naik terus sampai ke puncak, yang katanya cuma 1,5 sampai 2 jam saja lewat jalur ini. Beruntungnya tas saya dibawakan oleh Mimin. Baik banget si Mimin.
....
Akhirnya sampai di Pos 1. Keinginan untuk ditinggal saja di pos tersebut sirna seketika. Ku kira pos yang dimaksud adalah layaknya pos makrab yang ramai orang, ternyata hanya cakruk ditengah hutan yang tak berpenghuni. Kayak hati kamu, nggak berpenghuni. Apasih Nan. Gile aje kalo sendirian di sini sampai pagi.
Perjalanan berlanjut dengan beberapa kali berhenti. Namun kali ini gantian Dini yang sepertinya mulai kelelahan dan takut ketinggian. Sebaliknya kondisi saya mulai membaik. Mungkin karena tidak membawa barang sama sekali dan saya sudah bisa beradaptasi dengan mengatur napas dan langkah kaki. Bahkan saya bisa bernyanyi-nyanyi dan bercanda. Setelah melewati kawasan hutan pinus, kami melewati bukit terbuka yang kanan dan kirinya jurang. Saya dan Dini mulai kelelahan. Kaki semakin berat karena tanjakan mulai semakin tinggi. Kami bahkan naik dengan merangkak, nggak peduli lagi mau kotor dan basah kayak apa.
Saya kagum dengan Mimin yang ada di depan dengan dua tas, Lulu yang membimbing Dini yang takut ketinggian, dan Apip yang memikul tenda super berat di belakang. Sementara saya, berusaha memberanikan diri berjalan sendiri, demi tidak merepotkan Lulu yang sudah memiliki satu pasien. Saya sudah bisa kembali membawa tas saya. Sementara Mimin membawakan SB yang ditenteng Dini. Kami naik semakin tinggi, bintang semakin jelas terlihat seiring dengan bertambah gelapnya malam, lampu-lampu yang ada di bawah pun makin bagus. Jadi teringat film Shahrukh Khan, dia bikin formasi tulisan I Love You gitu dari lampu kota buat istrinya. Oh oke, info tidak penting.
Lulu terus menyemangati dan mengatakan puncak tinggal sebentar lagi. Padahal sebenarnya nggak juga. Tapi itu bagus, demi optimisme para newbie ini. Saya sangat senang bisa bersama dengan orang-orang yang begitu sabar dengan kami. Lalu, apa kami akhirnya bisa benar-benar sampai ke tempat tujuan kami? Ternyata malam masih berjalan dengan begitu lambat....
Bersambung....
Saat itu, kami agak rempong dengan barang bawaan kami. Sebenarnya tidak berat dan tidak banyak, berhubung katanya yang akan kami naiki 'hanya Gunung Andong' yang perjalanannya paling hanya 'dua jam saja' dengan 'santai'. Namun tas yg kami bawa tidak cukup besar dan bukan tas carrier/keril, sehingga tenda, matras, dan SB yang kami bawa tidak semuanya bisa menjadi satu dengan tas, harus ditenteng. Tips dari newbie: Jangan membawa banyak tentengan saat naik gunung, kalau bisa dalam satu tas saja agar tangan tidak kerepotan. Tetap pastikan untuk membawa logistik yang diperlukan namun tidak berat dan cukup untuk perjalanan. Untuk pendakian yang lebih jauh dan lama, aturannya lain lagi ya. Silakan ditanyakan pada para pendaki yang kompeten saja, jangan saya. Saya mah apa, cuma sisaan martabak begini. Mau diambil malu, nggak diambil sayang, eh malah akhirnya kebuang (ini perumpamaan dari mas acen foundernya jalan pendaki).
Selepas sholat magrib, kami berangkat dari Jogja ke Magelang dengan tiga motor. Saya berboncengan dengan Dini, Lulu dibonceng Mimin, dan Apip sendirian dengan motornya. Ini adalah pertama kalinya perjalanan luar kota saya di malam hari dengan menggunakan motor dan saya di depan. Sebelumnya bila bepergian dengan teman Sipil ke luar kota, pasti saya sebagai cewek kebagian bonceng di belakang. Saya baru sadar ternyata itulah salah satu kebahagian menjadi wanita yang kuliah bersama lelaki-lelaki Teknik Sipil. I miss you, teman-teman Sipil B andalanque.
Ketangguhan kembali diuji saat tiba-tiba di Magelang hujan turun sangat deras. Beneran lebay hujannya. Hempas datang lagi, hempas datang lagi. Gitu terus hujannya. Naik motor saat hujan di malam hari memang tidak mudah. Sekitar jam setengah 8, kami berhenti di sekitar pasar di daerah sebelum menuju Grabag untuk makan malam. Btw, informasi lokasi yang saya berikan tidak jelas ya. Hahaha. Maaf kemampuan navigasi saya memang payah.
Maafkan muka lecek yang habis dihempas hujan badai ini. |
Dini yang saya bonceng pun kelihatan hening di belakang. Saya juga malas buat membuka mulut ngajak ngobrol. Dingin, takut masuk angin. Saat melewati daerah persawahan yang cukup terbuka, kabut kemudian turun, cukup tebal. Saya hampir merasa seperti berjalan di mimpi. Sebelah kanan, kiri, dan depan hanya putih. Jalan hanya lurus hingga beberapa lama, dan yang bisa saya lihat hanya garis marka tengah jalan. Kami pun tidak lagi berpapasan dengan kendaraan dari arah depan. Saya tidak sanggup kalau harus melewati suasana seperti itu lagi sendirian.
Saat mulai memasuki jalan menuju basecamp pendakian Andong, iring-iringan motor kami dikejar oleh seorang Mas-mas yang membawa light stick. Light stick kang parkir kok, bukan fans JKT48. Krik. Si Mas adalah 'akamsi' (anak kampung situ) yang memberi tahu kalau kami tidak bisa naik lewat situ dan dia akan menunjukkan jalan kepada kami. Ternyata si Mas membawa kami ke basecamp di salah satu jalur pendakian yang bernama Gogik. Setelah sampai situ, saya paham ternyata si Mas adalah anggota karang taruna yang bertugas untuk membawa para calon pendaki untuk singgah di basecamp yang ada di kampung mereka. Menurut saya ini cara yang bagus untuk para pemuda di situ, selain membantu meramaikan kondisi kampung, para pendaki pun juga terbantu.
Di sana, disediakan rumah-rumah gratis yang bisa dipakai para pendaki untuk beristirahat sejenak sebelum atau setelah naik gunung. Disediakan pula colokan gratis dan teh hangat gratis bagi kami. Sebagai gantinya, mereka juga menyediakan jasa parkir, penyewaan senter, warung makan, dan juga etalase souvenir.
Ada obrolan saya dan Dini dengan mas kecil di dekat parkir motor yang membuat saya menyesal bertanya. Kami hanya bertanya tentang kenapa kami disuruh lewat sini. Lalu si mas malah bercerita tentang jalan pendakian yang longsor dan jelek yang sudah menimbulkan banyak korban kecelakaan. Kecelakaan berupa terpeleset maupun jatuh ke jurang, yang katanya kebanyakan perempuan. Dan ternyata yang masnya maksud adalah korban meninggal. Entah bener apa nggak cerita si mas ini, tapi kok bikin kesel ya. Kami cewek mas, dan baru pertama kali mau naik gunung. Kenapa kamu cerita itu, kenapa mas? Jelaskan mas?
...
Seusai sholat dan melakukan registrasi, kami memulai perjalanan pada pukul setengah 10 malam. Perjalanan berawal dari jalanan yang melewati sebuah gedung pondok pesantren. Jalan di sekitar pesantren masih berupa cor beton. Setelah itu kami memasuki kebun bambu dengan jalanan yang becek-becek asik dan mulai menanjak.
Saya mulai ngos-ngosan. Saya baru tahu kalau kegiatan mendaki gunung itu, bukan hanya sekedar berjalan menanjak. Namun juga memanjat jalan. Antrede dan optrede di jalanan setapaknya sungguh kejam bagi kaki dan badan saya yang tidak semampai ini. Naik jalan setapak saja seperti naik pagar sekolahan, tinggi. Ditambah lagi dengan kondisi setelah hujan yang basah dan licin. Tips: memakai headlamp akan lebih praktis daripada senter tangan.
Belum 10 menit berjalan, saya sudah tumbang. Sebagai seorang yang tidak pernah berolahraga hal tersebut wajar terjadi. Tubuh saya belum bisa beradaptasi. Saya kehabisan nafas, berkeringat dingin, dan sepertinya pucat. Tangan dan kaki saya dingin dan kesemutan, sepertinya aliran darah saya macet. Hahaha. Sampai mau ngomong aja nggak kuat. Di antara mereka, tentu saya adalah yang tercupu dalam masalah fisik. Apip dan Mimin secara fisik lebih kuat karena mereka lelaki. Lulu memang sudah beberapa kali naik gunung sepertinya. Dan Dini rajin jogging. Tips: siapkan fisik yang prima sebelum mendaki gunung, minimal rajin jogging.
Suasana yang gelap dan di tengah hutan membuat saya semakin kelelahan. Berulang kali saya berhenti, duduk dahulu untuk istirahat ambil napas dan minum. Karena memang naik gunung tidak boleh dipaksa, saya diminta meminum madu untuk memberi tenaga. Mereka selalu menyemangati dan meyakinkan saya kalau saya bisa naik dan berjalan lagi. Hanya perlu terbiasa mengatur napas. Mereka memberi tahu kalau Pos 1 hanya sebentar lagi. Dan kalau kami semakin naik, pemandangan lampu-lampu di bawah semakin bagus. Selain itu, pemandangan bintang di langit juga semakin bagus.
Tapi namanya orang kelelahan, mana terpengaruh sama bujukan cemen begituan. Bentukan saya sudah seperti kecebong menggelepar. Asal duduk di tebing tanah yang basah, nggak peduli lagi sama celana yang kena lumpur. Ku hanya ingin hidup. Tips: bawa madu, coklat atau cemilan yang cukup, letakkan minum ditempat yang mudah dijangkau, pakai sendal gunung atau sepatu yang tak licin.
Di dalam hati sempat menyalahkan diri sendiri kenapa bisa memutuskan naik gunung padahal sudah tau kemampuan payah. Pengen turun tapi nggak berani kalau sendirian. Kenapa saya di sini? Kenapa bisa termakan ajakan Dini? Kenapa nggak di rumah aja ngerjain tesis? Tolong, pulangkan saya tolong! Tentu itu cuma saya teriakkan dalam hati. Tapi memang di sisi lain, saya tetap ingin berjalan naik terus sampai ke puncak, yang katanya cuma 1,5 sampai 2 jam saja lewat jalur ini. Beruntungnya tas saya dibawakan oleh Mimin. Baik banget si Mimin.
....
Akhirnya sampai di Pos 1. Keinginan untuk ditinggal saja di pos tersebut sirna seketika. Ku kira pos yang dimaksud adalah layaknya pos makrab yang ramai orang, ternyata hanya cakruk ditengah hutan yang tak berpenghuni. Kayak hati kamu, nggak berpenghuni. Apasih Nan. Gile aje kalo sendirian di sini sampai pagi.
Perjalanan berlanjut dengan beberapa kali berhenti. Namun kali ini gantian Dini yang sepertinya mulai kelelahan dan takut ketinggian. Sebaliknya kondisi saya mulai membaik. Mungkin karena tidak membawa barang sama sekali dan saya sudah bisa beradaptasi dengan mengatur napas dan langkah kaki. Bahkan saya bisa bernyanyi-nyanyi dan bercanda. Setelah melewati kawasan hutan pinus, kami melewati bukit terbuka yang kanan dan kirinya jurang. Saya dan Dini mulai kelelahan. Kaki semakin berat karena tanjakan mulai semakin tinggi. Kami bahkan naik dengan merangkak, nggak peduli lagi mau kotor dan basah kayak apa.
Saya kagum dengan Mimin yang ada di depan dengan dua tas, Lulu yang membimbing Dini yang takut ketinggian, dan Apip yang memikul tenda super berat di belakang. Sementara saya, berusaha memberanikan diri berjalan sendiri, demi tidak merepotkan Lulu yang sudah memiliki satu pasien. Saya sudah bisa kembali membawa tas saya. Sementara Mimin membawakan SB yang ditenteng Dini. Kami naik semakin tinggi, bintang semakin jelas terlihat seiring dengan bertambah gelapnya malam, lampu-lampu yang ada di bawah pun makin bagus. Jadi teringat film Shahrukh Khan, dia bikin formasi tulisan I Love You gitu dari lampu kota buat istrinya. Oh oke, info tidak penting.
Lulu terus menyemangati dan mengatakan puncak tinggal sebentar lagi. Padahal sebenarnya nggak juga. Tapi itu bagus, demi optimisme para newbie ini. Saya sangat senang bisa bersama dengan orang-orang yang begitu sabar dengan kami. Lalu, apa kami akhirnya bisa benar-benar sampai ke tempat tujuan kami? Ternyata malam masih berjalan dengan begitu lambat....
Bersambung....
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteapik nan, alur e iso dipahami..
ReplyDeletetur iki jebul 2500 kata ik.. wkwkwkkw.. mending dibagi 2/3 artikel ben luwih penak le moco.. iso dipotong pas ganti hari atau pas koe turu.. koyo artikelku ning gunung setidake 2 artikel wkwkwk..
aseeek, diwoco master blogging cuy, oke oke bud, akan saya jadikan koreksi ya, nuwun wes mampir, hahaha
DeleteSeru banget gan ceritanya.. mau lanjut ke part 2..
ReplyDeleteaku pengen banget ndaki.. tapi belum kesampaian
Sewa Mobil Jogja