Lulu terus menyemangati dan mengatakan puncak tinggal sebentar lagi. Padahal sebenarnya nggak juga. Tapi itu bagus, demi optimisme para newbie ini. Saya sangat senang bisa bersama dengan orang-orang yang begitu sabar dengan kami. Padahal saya tahu mereka bisa dengan cepat untuk sampai ke atas. Tapi mereka dengan senang hati membimbing kami perlahan untuk bisa naik sampai atas. Terimakasih Lulu, Mimin dan Apip.
1 Mei 2017
Kami pun sampai di atas! Jam menunjukkan pukul 01.30 pagi. Baiklah, akibat kami berdua (saya dan Dini) perjalanan rombongan imut kami menjadi dua kali lebih lama. Lulu sudah sangat mengantuk saat itu. Kami kelelahan dan sangat kedinginan karena tidak lagi berjalan. Apip dan Mimin berusaha mencari tempat untuk mendirikan tenda.
Di atas sudah banyak sekali tenda yang berdiri, dan orang-orang sudah tidur. Mereka pasti sudah naik sejak siang atau sore. Hanya beberapa orang berlalu lalang di sekitar tenda. Terdapat sebuah tenda warung dengan genset menyala. Namun terlihat pemiliknya sekeluarga sudah tertidur di dalam, di antara gulungan selimut. Kami para wanita hanya diam tiduran sambil menunggu Apip dan Mimin.
Sekitar setengah jam mereka menyuruh kami masuk ke tenda. Udara gunung dini hari memang sangat dingin, sedingin tatapan mantan gebetan. Ditambah lagi dengan baju kami yang basah terkena keringat, celana yang sempat basah karena duduk di tanah, dan kaki yang juga basah. Pokoknya semua basyah. Beruntung saya dipinjami SB Mimin. Bagian dalam SB nya ada bulu-bulu lembut, dan yang pasti hangat. Namun kaki saya tetap dingin walaupun sudah saya beri kaos kaki baru. Kami berlima tidur dalam satu tenda. Agak susah buat saya buat tidur dalam kondisi dingin dan berangin seperti itu. Akhirnya saya sempat tidur dan sempat merasa hangat karena dipeluk Lulu. Sebelum akhirnya terbangun karena di luar mulai ramai, dan banyak orang berlarian di dekat tenda yang ternyata kami bangun tepat di samping jalan. Tips: bawa baju ganti hangat, kaos kaki cadangan hangat, pastikan SB kering, dan peluk erat teman tidurmu supaya tetap hangat di gunung.
...
Tempat kami membangun tenda kebetulan tidak datar. Saat bangun saya sudah melorot ke bawah, hahaha. Seusai shubuhan dengan terhuyung (cieilah terhuyung) di tanah yang miring, kami keluar untuk menikmati sunrise. Agak kesiangan sih saat kami keluar, sudah agak terang. Kami masih mengantuk dan di luar sangat dingin. Maklum tidur kami terlalu sebentar karena perjalanan yang terlalu lama. Maafkan kami berdua.
Ku belum mandi aja menawan begini, Mas. *Kemudian dilempar matras sama orang segunung* |
Pemandangan di atas sangat bagus. Baru kali ini saya menikmati pemandangan pagi di ketinggian fantastis yang saya capai dengan kaki saya sendiri. Langit, awan, dan mataharinya bagus. Gunung-gunung di sekelilingnya apalagi, it was so mesmerizing. Agak tidak percaya bisa naik ke atas gunung, yang walaupun kata orang itu gunung cupu, ternyata butuh usaha keras dari seorang saya untuk sampai ke puncak. Eits, puncak?
Ternyata, kami belum sampai puncak sodara-sodara. Puncaknya masih di seberang. Persis ada di arah depan dari tenda kami. Iming-iming dari Mimin, Apip, dan Lulu tetap tidak membuat saya dan Dini tertarik untuk sedikit lagi berjalan sampai ke puncak yang sebenarnya. Kami berdua sudah cukup puas sampai di situ saja. Hahahaha. Padahal nanggung tinggal sak upritan jalan, but we said no and thanks.
Satu hal kecil yang harus kalian ketahui. Naik gunung ternyata sepaket dengan 'turun gunung'. Aaaa tidak. Nggak mau lewat jalan itu lagi. Gamau gamau. Lah tapi harus apalagi, mau gimana lagi, harus pulang juga yhakan. Menurut saya pribadi, kegiatan turun gunung saat itu justru lebih 'menyeramkan'. Khan maen. Harus betul-betul memberanikan diri dengan ketinggian supaya bisa berjalan turun dengan lancar. Di beberapa titik yang curam, saya harus turun dengan ngelesot di tanah. Entah kenapa saya sangat takut terpeleset dan kemudian terjungkal jatuh ke jurang. Agak iri juga dengan teman-teman pendaki lain yang bisa berlari-lari sambil turun gunung.
Kepura-puraan yang haqiqi. |
Padahal aslinya mah begini. |
Adek tak kuasa turun bang. |
Saat itu saya merasa seperti nenek-nenek yang mau turun gunung. Lama. Tapi saya mencoba tegar. Karena tidak mau merepotkan teman-teman lelaki yang membawa barang berat. Selain itu, Lulu sudah disibukkan untuk membimbing dan menuntun Dini yang kebetulan saat itu mengalami ngeri dengan ketinggian. Bahkan saat hampir mencapai bawah, Lulu harus berada di tengah untuk menggandeng saya dan Dini. Dengkul rasanya mau copot trus dipasang lagi trus copot trus dipasang lagi, rauwis uwis. Kalo kata Lulu sih, jangan menahan kaki saat berjalan turun, karena bebannya bakal ditumpu sama dengkul dan kaki depan. Lari atau diloskan saja biar nggak capek. Tapi namanya takut jatuh, kaki selalu refleks mengerem dengan menahan seluruh berat tubuh saat turun. Akibatnya adalah tremor, letoy, lemas, apalah itu. Beruntung jari-jari kaki saya tidak kumat kramnya. Alhamdulillah, terimakasih kaos kaki. Btw, saya mengorbankan sepatu naik sepeda saya yang baru beberapa kali saja saya pakai. Bagian sampingnya sampai mangap karena basah dan berlumpur semalaman. Syedih.
Sudah setengah jalan turun, di sebelum hutan pinus. |
Sedikit lagi menuju Pos 1. |
Wajah kucel-laper-ngantuk, rehat di Pos 1. |
Sempat terkena gerimis saat di Pos 1, akhirnya kami selamat sampai basecamp bawah saat tengah hari. Setelah berbenah dan rehat sebentar, kami harus melanjutkan perjalanan pulang ke Jogja. Badan sudah subhanallah capek pisan. Hebatnya Dini masih bisa memboncengkan saya ditengah kengantukan dan kelelahan yang amat sangat. Bahkan kami kembali dihadang oleh hujan badai yang membanjiri jalanan sepanjang magelang hingga Jogja.
Alhamdulillah, rombongan anak TPA kembali dengan utuh. |
Muka pura-pura baik-baik saja setelah turun gunung. |
Terimakasih atas perjalanan yang sangat luar biasa!
ps: Semua foto berasal dari kamera Dini, Lulu dan Apip.
Comments
Post a Comment